MAKALAH
WARISAN
Mata Kuliah Tafsir
Dosen
Pengampu : H.
M. Syaikhul Arif, LC, MA.
Disusun Oleh : Rizko
SEMESTER I HUKUM TATA NEGARA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Syariat Islam menetapkan aturan waris dengan bentuk
yang sangat teratur dan adil. Di dalamnya ditetapkan hak kepemilikan harta bagi
setiap manusia, baik laki-laki maupun perempuan dengan cara yang legal. Syariat
Islam juga menetapkan hak pemindahan kepemilikan seseorang sesudah meninggal
dunia kepada ahli warisnya, dari seluruh kerabat dan nasabnya, tanpa membedakan
antara laki-laki dan perempuan, besar atau kecil.
Al-Qur'an menjelaskan dan merinci
secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan
hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai
kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami,
kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu.
Oleh karena itu, Al-Qur'an merupakan
acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang
kewarisan yang diambil dari hadits Rasulullah saw. dan ijma' para ulama sangat
sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam hukum dan syariat Islam sedikit sekali
ayat Al-Qur'an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum
waris ini. Hal demikian disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk
kepemilikan yang legal dan dibenarkan AlIah SWT. Di samping bahwa harta
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok
masyarakat.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam pembuatan tugas
makalah ini adalah “tentang Warisan dalam Hukum Islam”. Dari rumusan
masalah tersebut dapat kami uraikan menjadi sebagai berikut:
1.
Bagaimanakah pengertian warisan dalam hukum islam.
2.
Apa saja bentuk, rukun dan syarat
warisan.
3. apa saja faktor-faktor yang menyebabkan
mendapatkan warisan.
4. Bagaimanakah pembagian warisan dalam
hukum islam.
5. Apa saja golongan dalam ahli waris.
6. Apa saja faktor-faktor yang menghalangi
mendapatkan warisan.
7. Bagaimana
ketentuan warisan untuk waria dan ibu hamil.
8.
Seperti apa contoh pembagian masalah.
C. Tujuan Penulisan
Tujuan
pembuatan makalah ini pada hakekatnya merupakan sesuatu yang hendak dicapai dan
dapat memberikan arahan dan penjelasan yang akan dilakukan. Berpijak pada
rumusan penelitian diatas, maka tujuan yang akan dicapai dalam makalah
ini adalah untuk mengetahui bagaimana pelaksanaan warisan yang
sesuai dengan ketentuan hukum islam.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Waris
Al-miirats, dalam bahasa Arab adalah
bentuk mashdar (infinitif) dari kata waritsa-yaritsu-irtsan-miiraatsan.
Maknanya menurut bahasa ialah 'berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang
lain', atau dari suatu kaum kepada kaum lain.
Pengertian menurut bahasa ini
tidaklah terbatas hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan harta, tetapi
mencakup harta benda dan non harta benda. Ayat-ayat Al-Qur'an banyak menegaskan
hal ini, demikian pula sabda Rasulullah saw.. Di antaranya Allah berfirman:
"Dan Sulaiman telah mewarisi Daud ..." (an-Naml: 16)
"... Dan Kami adalah pewarisnya." (al-Qashash: 58)
Selain itu kita dapati dalam hadits
Nabi saw.:
'Ulama adalah ahli waris para nabi'.
Sedangkan makna al-miirats menurut
istilah yang dikenal para ulama ialah berpindahnya hak kepemilikan dari orang
yang meninggal kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik yang ditinggalkan
itu berupa harta (uang), tanah, atau apa saja yang berupa hak milik legal
secara syar'i.
a. Pengertian
Peninggalan
Pengertian
peninggalan yang dikenal di kalangan fuqaha ialah segala sesuatu yang
ditinggalkan pewaris, baik berupa harta (uang) atau lainnya. Jadi, pada
prinsipnya segala sesuatu yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal
dinyatakan sebagai peninggalan. Termasuk di dalamnya bersangkutan dengan utang
piutang, baik utang piutang itu berkaitan dengan pokok hartanya (seperti harta
yang berstatus gadai), atau utang piutang yang berkaitan dengan kewajiban
pribadi yang mesti ditunaikan (misalnya pembayaran kredit atau mahar yang belum
diberikan kepada istrinya). Hak-hak
yang Berkaitan dengan Harta Peninggalan.
Dari sederetan hak yang harus
ditunaikan yang ada kaitannya dengan harta peninggalan adalah:
1. Semua keperluan dan pembiayaan
pemakaman pewaris hendaknya menggunakan harta miliknya, dengan catatan tidak
boleh berlebihan. Keperluan-keperluan pemakaman tersebut menyangkut segala
sesuatu yang dibutuhkan mayit, sejak wafatnya hingga pemakamannya. Di
antaranya, biaya memandikan, pembelian kain kafan, biaya pemakaman, dan
sebagainya hingga mayit sampai di tempat peristirahatannya yang terakhir. Satu
hal yang perlu untuk diketahui dalam hal ini ialah bahwa segala keperluan
tersebut akan berbeda-beda tergantung perbedaan keadaan mayit, baik dari segi
kemampuannya maupun dari jenis kelaminnya.
2. Hendaklah utang piutang yang masih
ditanggung pewaris ditunaikan terlebih dahulu. Artinya, seluruh harta
peninggalan pewaris tidak dibenarkan dibagikan kepada ahli warisnya sebelum
utang piutangnya ditunaikan terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan sabda
Rasulullah saw.:
"Jiwa (ruh) orang mukmin bergantung
pada utangnya hingga ditunaikan."
Maksud hadits ini adalah utang piutang yang
bersangkutan dengan sesama manusia. Adapun jika utang tersebut berkaitan dengan
Allah SWT, seperti belum membayar zakat, atau belum menunaikan nadzar, atau
belum memenuhi kafarat (denda), maka di kalangan ulama ada sedikit perbedaan
pandangan. Kalangan ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa ahli warisnya
tidaklah diwajibkan untuk menunaikannya. Sedangkan jumhur ulama berpendapat
wajib bagi ahli warisnya untuk menunaikannya sebelum harta warisan (harta
peninggalan) pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya.
3. Wajib menunaikan seluruh wasiat
pewaris selama tidak melebihi jumlah sepertiga dari seluruh harta
peninggalannya. Hal ini jika memang wasiat tersebut diperuntukkan bagi orang
yang bukan ahli waris, serta tidak ada protes dari salah satu atau bahkan
seluruh ahli warisnya. Adapun penunaian wasiat pewaris dilakukan setelah
sebagian harta tersebut diambil untuk membiayai keperluan pemakamannya,
termasuk diambil untuk membayar utangnya.
Bila
ternyata wasiat pewaris melebihi sepertiga dari jumlah harta yang
ditinggalkannya, maka wasiatnya tidak wajib ditunaikan kecuali dengan
kesepakatan semua ahli warisnya. Hal ini berlandaskan sabda Rasulullah saw.
ketika menjawab pertanyaan Sa'ad bin Abi Waqash r.a. pada waktu itu Sa'ad sakit
dan berniat menyerahkan seluruh harta yang dimilikinya ke baitulmal. Rasulullah
saw. bersabda: "... Sepertiga, dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya bila
engkau meninggalkan para ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik
daripada meninggalkan mereka dalam kemiskinan hingga meminta-minta kepada
orang."
4. Setelah itu barulah seluruh harta
peninggalan pewaris dibagikan kepada para ahli warisnya sesuai ketetapan
Al-Qur'an, As-Sunnah, dan kesepakatan para ulama (ijma'). Dalam hal ini dimulai
dengan memberikan warisan kepada ashhabul furudh (ahli waris yang telah
ditentukan jumlah bagiannya, misalnya ibu, ayah, istri, suami, dan lainnya),
kemudian kepada para 'ashabah (kerabat mayit yang berhak menerima sisa harta
waris --jika ada-- setelah ashhabul furudh menerima bagian).
B. Bentuk-bentuk
Waris
a. Hak waris secara fardh (yang telah ditentukan bagiannya).
b. Hak waris secara 'ashabah (kedekatan
kekerabatan dari pihak ayah).
c. Hak waris secara tambahan.
d. waris secara pertalian rahim.
C. Rukun
Waris
ada tiga:
a. Pewaris, yakni orang yang meninggal dunia, dan
ahli warisnya berhak untuk mewarisi harta peninggalannya.
b. Ahli waris, yaitu mereka yang berhak untuk
menguasai atau menerima harta
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
peninggalan pewaris dikarenakan adanya ikatan kekerabatan (nasab) atau ikatan pernikahan, atau lainnya.
c. Harta warisan, yaitu segala jenis benda atau
kepemilikan yang ditinggalkan pewaris, baik berupa uang, tanah, dan sebagainya.
D. Syarat
Waris
Syarat-syarat waris juga ada tiga:
1. Meninggalnya seseorang (pewaris)
baik secara hakiki maupun secara hukum (misalnya dianggap telah meninggal).
2. Adanya ahli waris yang hidup secara hakiki
pada waktu pewaris meninggal dunia.
3. Seluruh ahli waris diketahui secara pasti,
termasuk jumlah bagian masing-masing.
a. Syarat Pertama: Meninggalnya pewaris
Yang dimaksud dengan meninggalnya
pewaris --baik secara hakiki ataupun secara hukum-- -ialah bahwa seseorang
telah meninggal dan diketahui oleh seluruh ahli warisnya atau sebagian dari
mereka, atau vonis yang ditetapkan hakim terhadap seseorang yang tidak
diketahui lagi keberadaannya. Sebagai contoh, orang yang hilang yang keadaannya
tidak diketahui lagi secara pasti, sehingga hakim memvonisnya sebagai orang
yang telah meninggal.
b. Syarat Kedua: Masih hidupnya para
ahli waris
Maksudnya, pemindahan hak
kepemilikan dari pewaris harus kepada ahli waris yang secara syariat
benar-benar masih hidup, sebab orang yang sudah mati tidak memiliki hak untuk
mewarisi.
Sebagai contoh, jika dua orang atau
lebih dari golongan yang berhak saling mewarisi meninggal dalam satu peristiwa
--atau dalam keadaan yang berlainan tetapi tidak diketahui mana yang lebih
dahulu meninggal-- maka di antara mereka tidak dapat saling mewarisi harta yang
mereka miliki ketika masih hidup.
c. Syarat Ketiga: Diketahuinya posisi
para ahli waris
Dalam hal ini posisi para ahli waris
hendaklah diketahui secara pasti, misalnya suami, istri, kerabat, dan
sebagainya, sehingga pembagi mengetahui dengan pasti jumlah bagian yang harus
diberikan kepada masing-masing ahli waris. Sebab, dalam hukum waris perbedaan
jauh-dekatnya kekerabatan akan membedakan jumlah yang diterima. Misalnya, kita
tidak cukup hanya mengatakan bahwa seseorang adalah saudara sang pewaris. Akan
tetapi harus dinyatakan apakah ia sebagai saudara kandung, saudara seayah, atau
saudara seibu. Mereka masing-masing mempunyai hukum bagian, ada yang berhak
menerima warisan karena sebagai ahlul furudh, ada yang karena 'ashabah, ada
yang terhalang hingga tidak mendapatkan warisan (mahjub), serta ada yang tidak
terhalang.
E.
Faktor-faktor yang menyebabkan mendapat Warisan
Faktor-faktor yang menyebabkan
seseorang mendapatkan warisan ada tiga:
a. Nasab
Allah swt berfirman:
“Dan orang-orang yang mempunyai
hubungan darah, satu sama lain lebih berhak (waris-mewaris).” (QS al-Ahzaab: 6)
b. Wala’ (Loyalitas budak yang telah
dimerdekakan kepada orang yang memerdekakannya):
Dari Ibnu Umar dari Nabi saw, ia
bersabda, “al-Walaa’ itu adalah kekerabatan seperti kekerabatan senasab.”
(Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 7157, Mustadrak Hakim IV: 341, Baihaqi X:
292).
c. Nikah
Allah swt menegaskan:
“Dan bagimu (suami-isteri) seperdua
dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu.” (QS an-Nisaa’: 12)
F.
Para ahli waris
dari Pihak Laki-laki
Yang berhak menjadi ahli waris dari
kalangan lelaki ada sepuluh orang:
1 dan 2.
Anak laki-laki dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang
(pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bagian seorang anak laki-laki sama
dengan bagian dua orang anak perempuan." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4.
Ayah dan bapaknya dan seterusnya ke atas.
Allah swt berfirman:
"Dan untuk dua orang ibu bapak,
bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan." (QS An Nisaa’: 11).
Dan datuk termasuk ayah, oleh karena
itu Nabi saw bersabda:
"Saya adalah anak Abdul
Muthallib." (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari VIII: 27 no: 4315, Muslim III: 1400 no: 1776, dan Tirmidzi
III: 117 no: 1778).
5 dan 6.
Saudara dan puteranya dan seterusnya ke bawah.
Allah swt berfirman:
"Dan saudara yang laki-laki
mempusakai (seluruh harta saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai
anak." (QS
An Nisaa’: 176).
7 dan 8.
Paman dan anaknya serta seterusnya.
Nabi saw bersabda:
"Serahkanlah bagian-bagian itu
kepada yang lebih berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama
(dekat kepada mayyit)." (Muttafaqun’alaih: Fatul Bari XII: 11 no: 6732, Muslim III:
1233 no: 1615, Tirmidzi III: 283 no: 2179 dan yang semakna dengannya
diriwayatkan Abu Dawud, ‘Aunul Ma’bud VIII: 104 no: 2881, Sunan Ibnu Majah II:
915 no. 2740).
9. Suami.
Allah swt berfirman:
"Dan bagimu (suami-isteri)
seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu." (QS An Nisaa’: 12).
10.
Laki-laki yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu milik orang
yang telah memerdekakannya."
Catatan :
Apabila dalam
pembagian waris terdapat bersama anak laki-laki berkumpul dengan anak perempuan
sama-sama mengambil harta pusaka itu, maka cara membaginya ialah laki-laki
mendapat dua bagian dan perempuan satu bagian.
G.
Perempuan-perempuan
yang Mendapat Warisan
Perempuan-perempuan yang berhak
menjadi ahli waris ada tujuh:
1 dan 2.
Anak perempuan dan puteri dari anak laki-laki dan seterusnya.
Firman-Nya:
"Allah mensyari’atkan bagimu
tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4.
Ibu dan nenek.
Firman-Nya:
"Dan untuk dua orang ibu
bapak, bagi masing-masing seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
5. Saudara
perempuan.
Allah swt berfirman:
"Jika seorang meninggal dunia
dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi
saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang ditinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176).
6. Istri.
Allah swt berfirman:
"Para isteri memperoleh
seperempat dari harta yang kamu tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
7.
Perempuan yang memerdekakan budak.
Sabda Nabi saw:
"Hak ketuanan itu menjadi hak
milik orang yang memerdekakannya." (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 550 no: 456, Muslim II:
1141 no: 1504, ’Aunul Ma’bud X: 438 no: 3910, Ibnu Majah II: 842 no: 2521).
H.
Golongan Ahli
Waris
Ahli waris
terbagi dua golongan, yaitu :
1.
Dzu fardlin
2.
‘Ashabah
a. DZU FARDLIN
Dzu fardlin
adalah artinya yang mempunyai pembagian tertentu. Pembagian tertentu menurut
alquran ada enam:
1.
1/2 (setengah)
2.
1/4
(seperempat)
3.
1/8 (seperdelapan)
4.
1/3 (sepertiga)
5.
2/3 (dua
pertiga)
6.
1/6 (seperenam)
Ahli waris yang
mendapat bagian salah satu dari enam macam bagian tersebut, dinamakan ahli
waris dzu fardlin.
1. Orang-orang yang berhak mendapat ahli waris
Bagian-bagian yang telah ditetapkan
dalam Kitabullah Ta’ala ada enam: (pertama) separuh, (kedua)
seperempat, (ketiga) seperdelapan, (keempat) dua pertiga, (kelima)
sepertiga, dan (keenam) seperenam.
a. Yang
dapat 1/2:
1).
Suami yang dapat seperdua (dari harta peninggalan isteri), bila si
mayyit tidak meninggalkan anak. Allah
swt berfirman: "Dan kamu dapat separuh dari apa yang ditinggalkan
isteri-isteri kamu, jika mereka tidak meninggalkan anak." (QS An
Nisaa’: 12).
2). Seorang anak perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika (anak
perempuan itu hanya) seorang, maka ia dapat separuh." (QS An Nisaa’:
11).
3).
Cucu perempuan, karena ia menempati kedudukan anak perempuan
menurut ijma’ (kesepakatan) ulama’. Ibnu Mundzir berkata, "Para ulama’ sepakat bahwa cucu
laki-laki dan cucu perempuan menempati kedudukan anak laki-laki dan anak
perempuan. Cucu laki-laki sama dengan anak laki-laki, dan cucu perempuan sama
dengan anak perempuan, jika si mayyit tidak meninggalkan anak kandung
laki-laki." (Al Ijma’ hal. 79)
4. dan 5. Saudara perempuan seibu
dan sebapak dan saudara perempuan sebapak.
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
Firman-Nya: "Jika seorang meninggal dunia, padahal ia tidak mempunyai anak, tanpa mempunyai saudara perempuan, maka saudara perempuan dapat separuh dari harta yang ia tinggalkan itu." (QS An Nisaa’: 176)
b. Yang
dapat 1/4 ; dua orang:
1).Suami
dapat seperempat, jika isteri yang wafat meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika
mereka meninggalkan anak, maka kamu dapat seperempat dari harta yang mereka
tinggalkan." (QS An Nisaa’: 12).
2.
Isteri, jika suami tidak meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan isteri-isteri kamu mendapatkan
seperempat dari apa yang kamu tinggalkan, jika kamu tidak meninggalkan
anak." (QS An Nisaa’: 12).
c. Yang
dapat 1/8; hanya satu (yaitu):
Istri
dapat seperdelapan, jika suami meninggalkan anak. Firman-Nya: "Tetapi jika kamu tinggalkan anak, maka
isteri-isteri kamu dapat seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan." (QS
An Nisaa’: 12).
d.
Yang dapat 2/3; empat orang
1 dan 2. Dua anak perempuan dan cucu perempuan (dari anak
laki-laki).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
Firman-Nya: "Tetapi jika anak-anak (yang jadi ahli waris) itu perempuan (dua orang) atau lebih dari dua orang, maka mereka daat dua pertiga dari harta yang ditinggalkan (oleh bapaknya)." (QS An Nisaa’: 11).
3 dan 4. Dua saudara perempuan seibu sebapak dan dua saudara
perempuan sebapak. Firman-Nya: "Tetapi jika adalah (saudara perempuan)
itu dua orang, maka mereka dapat dua pertiga dari harta yang ia
tinggalkan." (QS An Nisaa’: 176).
e. Yang dapat 1/3; dua orang:
1). Ibu, jika ia tidak mahjub
(terhalang). Firman-Nya: "Tetapi jika si
mayyit tidak mempunyai anak, dan yang jadi ahli warisnya (hanya) ibu dan bapak, maka bagi ibunya
sepertiga." (QS
An Nisaa’: 11).
2). Dua saudara seibu (saudara tiri)
dan seterusnya. Firman-Nya:
"Dan jika si mayyit laki-laki atau perempuan tak meninggalkan anak dan
tidak (pula) bapak, tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau
saudara perempuan (seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu,
dapat seperenam, tetapi jika
saudara-saudara itu lebih dari itu maka mereka bersekutu dalam sepertiga
itu." (QS
An Nisaa’: 12).
f. Yang
dapat 1/6; ada tujuh orang:
1).
Ibu dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak atau saudara lebih dari
seorang.
Firman-Nya: "Dan untuk dua
orang ibu bapak, bagian masing-masingnya seperenam dari harta yang
ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal
itu tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu bapaknya (saja), maka ibunya
dapat sepertiga; jika yang wafat itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
dapat seperenam." (QS An Nisaa’: 11).
2).
Nenek, bila si mayyit tidak meningalkan ibu. Ibnul Mundzir menegaskan,
"Para ulama’ sepakat bahwa nenek dapat seperenam, bila si mayyit tidak
meninggalkan ibu." (Al Ijma’ hal. 84).
3.
Seorang saudara seibu, baik laki-laki ataupun perempuan.
Firman-Nya: "Dan jika si mayyit
laki-laki atau perempuan itu tidak meninggalkan anak dan tidak (pula) bapak,
tetapi ia mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu) atau saudara perempuan
(seibu), maka tiap-tiap orang dari mereka berdua itu dapat seperenam." (QS
An Nisaa’: 12).
4).
Cucu perempuan, jika si mayyit meninggalkan seorang anak perempuan:
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
Dari Abu Qais, ia bertutur: Saya pernah mendengar Huzail bin Syarahbil berkata, "Abu Musa pernah ditanya perihal (bagian) seorang anak perempuan dan cucu perempuan serta saudara perempuan." Maka ia menjawab, "Anak perempuan dapat separuh dan saudara perempuan separuh (juga), dan temuilah Ibnu Mas’ud (dan tanyakan hal ini kepadanya) maka dia akan sependapat denganku!" Setelah ditanyakan kepada Ibnu Mas’ud dan pernyataan Abu Musa disampaikan kepadanya, maka Ibnu Mas’ud menjawab, "Sungguh kalau begitu (yaitu kalau sependapat dengan pendapat Abu Musa) saya benar-benar sesat dan tidak termasuk orang-orang yang mendapat hidayah. Saya akan memutuskan dalam masalah tersebut dengan apa yang pernah diputuskan Nabi saw: yaitu anak perempuan dapat separuh, cucu perempuan dari anak laki-laki dapat seperenam sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), dan sisanya untuk saudara perempuan.’ Kemudian kami datang menemui Abu Musa, lantas menyampaikan pernyataan Ibnu Mas’ud kepadanya, maka Abu Musa kemudian berkomentar, ”Janganlah kamu bertanya kepadaku selama orang yang berilmu ini berada di tengah-tengah kalian.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 1863, Fathul Bari XII: 17 no: 6736, ’Aunul Ma’bud VIII: 97 no: 2873, Tirmidzi III: 285 no: 2173, namun dalam riwayat Abu Daud dan Tirmidzi tidak termaktub kalimat terakhir).
5).
Saudara perempuan sebapak, jika si mayat meninggalkan seorang saudara perempuan
seibu sebapak sebagai pelengkap dua pertiga (2/3), karena dikiaskan kepada cucu
perempuan, bila si mayyit meninggalkan anak perempuan.
6).
Bapak dapat seperenam, jika si mayyit meninggalkan anak. Firman-Nya: "Dan bagi dua ibu bapaknya; buat tiap-tiap
seorang dari mereka seperenam dari harta yang ditinggalkan (oleh anaknya), jika
(anak itu) mempunyai anak." (QS An Nisaa’: 11).
7).
Datuk (kakek) dapat seperenam, bila si mayyit tidak meninggalkan bapak. Dalam
hal ini Ibnul Mundzir menyatakan, "Para ulama’ sepakat bahwa kedudukan
datuk sama dengan kedudukan ayah." (Al Ijma’ hal. 84).
b. PENGERTIAN
'ASHABAH
Menurut bahasa,
kata ’ashabah adalah bentuk jama’ dari kata ’aashib, seperti kata
thalabah adalah bentuk jama’ dari kata thaalib, (kata ’ashabah)
yang berarti anak-anak laki-laki seorang dan kerabatnya dari ayahnya. Sedang
yang dimaksud dalam kajian faraidh di sini ialah orang-orang yang mendapat
alokasi sisa dari harta warisan setelah ashabul furudh (orang-orang yang
berhak mendapat bagian) mengambil bagiannya masing-masing. Jika ternyata harta
warisan itu tidak tersisa sedikitpun, maka orang-orang yang terkategori ’ashabah
itu tidak mendapat bagian sedikitpun, kecuali yang menjadi ’ashabah itu
adalah anak laki-laki, maka sama sekali ia tidak pernah terhalang. (Pengertian
ini dikutip dari Fiqh Sunnah III: 437).
Segenap orang
yang termasuk ’ashabah berhak juga mendapatkan harta warisan seluruhnya,
bila tidak didapati seorangpun dari ashabul furudh.
Dari Ibnu Abbas
ra bahwa Nabi saw bersabda, ”Serahkanlah bagian-bagian itu kepada yang
berhak, kemudian sisanya untuk laki-laki yang lebih utama (lebih dekat kepada
si mayyit).”
Allah swt
berfirman:
"Dan
saudara laki-laki itu menjadi ahli waris pusaka saudara perempuannya, jika
saudara perempuan tersebut tidak mempunyai anak (laki-laki)." (QS An Nisaa’:
176).
Jadi, seluruh
harta warisan harus diserahkan kepada saudara laki-laki, ketika ia sendirian,
dan kiaskanlah seluruh ’ashabah yang lain kepadanya.
1. KLASIFIKASI 'ASHABAH
’Ashabah terbagi dua,
yaitu ’ashabah sababiyah dan ’ashabah nisbiyah.
a) ’Ashabah sababiyah ialah ’ashabah
yang terjadi karena telah memerdekakan budak.
Nabi saw
bersabda:
”Hak ketuanan
itu milik bagi orang memerdekakannya.”
Sabda Beliau
saw lagi:
”Hak ketuanan
itu adalah daging seperti daging senasab.”
Orang laki-laki
atau perempuan yang memerdekakan budak tidak boleh menjadi ahli waris, kecuali
apabila yang bekas budak itu tidak meninggalkan orang yang termasuk ’ashabah
nasabiyah:
Dari Abdullah
bin Syaddad dari puteri Hamzah, ia berkata, ”Bekas budakku telah meninggal
dunia dan ia meninggalkan seorang puteri, maka Rasulullah saw membagi harta
peninggalannya kepada kami dan kepada puterinya, yaitu Beliau menetapkan
separuh untukku dan separuhnya (lagi) untuk dia.” (Hasan: Shahih Ibnu Majah no:
2210, Ibnu Majah II: 913 no: 2734 dan Mustadrak Hakim IV: 66).
b). Adapun ‘ashabah nasabiyah ada tiga
kelompok:
1). 'Ashabah binafsih, yaitu orang-orang yang menjadi ‘ashabah
dengan sendirinya: Mereka adalah orang-orang laki-laki yang menjadi ahli
waris selain suami dan anak dari pihak ibu.
2). ‘Ashabah bighairih, ya’ni orang-orang yang jadi ‘ashabah
disebabkan ada orang lain: Mereka adalah anak perempuan, cucu perempuan,
saudara perempuan seibu sebapak, dan saudara perempuan sebapak. Jadi,
masing-masing dari mereka itu kalau ada saudara laki-lakinya menjadi ’ashabah
mendapat separuh dari harta warisan.
Firman-Nya:
"Dan jika
mereka (yang jadi ahli waris) itu saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka
bagi saudara laki-laki itu bagian dua saudara perempuan." (QS An Nisaa’:
176).
3). 'Ashabah ma’aghairih, yaitu orang-orang yang jadi ‘ashabah
bersama orang lain: Mereka adalah saudara-saudara perempuan bersama
anak-anak perempuan; berdasarkan hadits:
Dari Ibnu
Mas’ud ra, ia berkata, “Dan sisanya untuk saudara perempuan.”
I.
Pengertian Hajb dan
Hirman
Menurut bahasa,
kata hajb berarti man’un (cegahan), namun yang dimaksud di sini
ialah orang yang tertentu terhalang untuk mendapatkan seluruh warisannya atau
sebagiannya disebabkan ada orang lain (yang menjadi hajib,
penghalang). Adapun yang dimaksud kata hirman di sini ialah orang
yang tertentu terhalang mendapat warisannya disebabkan ada beberapa faktor yang menghalangi seseorang mendapat harta warisan, yaitu :
1.
Pembunuhan
Dari Abu Hurairah ra dari Rasulullah
saw bahwa Beliau bersabda, “Orang yang membunuh tidak boleh menjadi
ahli waris.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 4436, Irwa-ul Ghalil no:
1672, Tirmidzi II: 288 no: 2192 dan Ibnu Majah II: 883 no: 2645).
2. Berlainan agama:
Dari Usamah bin Zaid ra bahwa Nabi
saw bersabda, “Orang muslim tidak boleh menjadi ahli waris orang kafir
dan tidak (pula) orang kafir menjadi ahli waris seorang muslim.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 50 no: 6764, Muslim III: 1233 no: 1614,
Tirmidzi III: 286 no: 2189, Ibnu Majah II: 911 no: 2729, ‘Aunul Ma’bud VIII:
120 no: 2892).
3. Perhambaan/Perbudakan
Sebab seorang hamba dan harta
bendanya adalah menjadi hak milik tuannya, sehingga kalau ada kerabatnya
memberi warisan, maka ia menjadi milik tuannya juga, bukan menjadi miliknya.
Akan tetapi
soal perbudakan pada masa kini telah dihapuskan di seluruh dunia. Jadi
sebab-sebab tidak dapat mendapat warisan hanya tinggal dua saja, yaitu karena
pembunuhan dan berlainan agama.
a. Pembagian Hajb
Hajb ada dua yaitu hajb nuqshan dan kedua hajb hirman.
Adapun yang
dimaksud hajb nuqshan ialah berkurangnya bagian seorang ahli waris
karena ada orang lain, dan ini terjadi pada lima orang:
1). Suami, ia
terhalang untuk mendapatkan separuh dari harta peninggalan, manakala si mayyit
meninggalkan anak, sehingga ia hanya dapat seperempat.
2). Isteri, ia
terhalang untuk mendapat seperempat, bila si mayyit meninggalkan anak, sehingga
ia hanya dapat seperdelapan.
3). Ibu, ia
terhalang untuk mendapatkan bagian sepertiga, jika si mayyit meninggalkan anak
dan cucu yang berhak menjadi ahli waris, sehingga ia hanya mendapat seperenam.
4). Cucu
perempuan.
5). Saudara
perempuan sebapak.
Adapun hajb
hirman yaitu seseorang tidak boleh mendapatkan warisan sedikitpun karena
ada orang lain, misalnya terhalangnya saudara laki-laki untuk mendapatkan
warisan bila si mayyit meninggalkan anak laki-laki, dan masalah ini (hajb
hirman) tidak masuk padanya warisan dari enam ahli waris, meskipun mungkin
saja terjadi pada keenam orang ini hajb nuqshan. Mereka adalah:
1 dan 2. Bapak
dan Ibu.
3 dan 4. Anak
laki-laki dan anak perempuan.
5 dan 6. Suami
atau isteri.
Dan pembahasan hajb
hirman ini mengenai selain enam orang tersebut dari kalangan orang-orang
yang berhak jadi ahli waris.
Hajb hirman berpijak pada
dua asas:
a. Bahwa setiap
orang yang menisbatkan dirinya kepada mayyit dengan perantara orang lain, maka
ia tidak berhak jadi ahli waris manakala orang lain tersebut masih hidup.
Misalnya cucu laki-laki dari anak laki-laki, ia tidak bisa menjadi ahli waris
bila bapaknya masih hidup, kecuali putera-puteri ibu, mereka tetap sah menjadi
ahli waris bersama ibunya, padahal mereka menisbatkan dirinya kepada mayyit
dengan perantara ibunya.
- Yang lebih dekat harus lebih diutamakan daripada
yang jauh. Misalnya anak laki-laki menjadi hajib (penghalang) bagi
keponakan laki-lakinya dari saudara laki-lakinya. Jika mereka sederajat,
maka yang harus diutamakan adalah yang lebih kuat kekerabatannya, misalnya
saudara laki-laki sebapak seibu menjadi hajib (penghalang) bagi saudara
laki-laki sebapak.
J.
Masalah Umariyyatan
Pada asalnya,
seorang ibu akan mendapat bagian sepertiga dari seluruh harta peninggalan
pewaris bila ia mewarisi secara bersamaan dengan bapak seperti telah saya
jelaskan berdasarkan pemahaman bagian ayat (artinya) "jika orang yang
meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapaknya (saja), maka
ibunya mendapat sepertiga".
Akan tetapi,
berkaitan dengan ini ada dua istilah yang muncul dan dikenal di kalangan
fuqaha, yakni 'umariyyatan dan al-gharawaini. Disebut 'umariyyatan sebab kedua
hal ini dilakukan oleh Umar bin Khathab dan disepakati oleh jumhur sahabat
ridhwanullah 'alaihim. Sedangkan al-gharawaini bermakna 'dua bintang
cemerlang', karena kedua istilah ini sangat masyhur. Dalam kasus ini, ibu hanya
diberi sepertiga bagian dari sisa harta warisan yang ada, setelah sebelumnya
dikurangi bagian suami atau istri.
K. Al-‘aul
Al-'aul dalam bahasa Arab mempunyai banyak arti, di antaranya bermakna
azh-zhulm (aniaya) dan tidak adil, seperti yang difirmankan-Nya:
"... Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya."(an-Nisa'3)
Al-'aul juga bermakna 'naik' atau 'meluap'. Dikatakan 'alaa al-ma'u idzaa
irtafa'a yang artinya 'air yang naik meluap'. Al-'aul bisa juga berarti
'bertambah', seperti tampak dalam kalimat ini: 'alaa al-miizaan yang berarti “berat timbangannya”.
Sedangkan definisi al-'aul menurut istilah fuqaha yaitu bertambahnya jumlah
bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) para ahli waris.
Hal ini terjadi ketika makin banyaknya ashhabul furudh sehingga harta yang
dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian. Dalam
keadaan seperti ini kita harus menaikkan atau menambah pokok masalahnya
sehingga seluruh harta waris dapat mencukupi jumlah ashhabul furudh yang ada --
meski bagian mereka menjadi berkurang.
Misalnya bagian seorang suami yang semestinya mendapat setengah (1/2) dapat
berubah menjadi sepertiga (1/3) dalam keadaan tertentu, seperti bila pokok
masalahnya dinaikkan dari semula enam (6) menjadi sembilan (9). Maka dalam hal
ini seorang suami yang semestinya mendapat bagian 3/6 (setengah) hanya
memperoleh 3/9 (sepertiga). Begitu pula halnya dengan ashhabul furudh yang
lain, bagian mereka dapat berkurang manakala pokok masalahnya naik atau bertambah.
L.
Ar-Radd
Ar-radd dalam bahasa Arab berarti 'kembali/kembalikan' atau juga bermakna
'berpaling/palingkan'. Seperti terdapat dalam firman Allah berikut:
"Musa berkata: 'Itulah (tempat) yang kita cari.' Lalu keduanya
kembali, mengikuti jejak mereka semula. " (al-Kahfi: 64)
"Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka
penuh kejengkelan ..." (al-Ahzab: 25)
Dalam sebuah doa disebutkan "Allahumma radda kaidahum 'annii" (Ya
Allah, palingkanlah/halaulah tipu daya mereka terhadapku).
Adapun ar-radd menurut istilah ulama ilmu faraid ialah berkurangnya pokok
masalah dan bertambahnya/lebihnya jumlah bagian ashhabul furudh. Ar-radd
merupakan kebalikan dari al-'aul.
Sebagai misal, dalam suatu keadaan (dalam pembagian hak waris) para
ashhabul furudh telah menerima haknya masing-masing, tetapi ternyata harta
warisan itu masih tersisa --sementara itu tidak ada sosok kerabat lain sebagai
'ashabah-- maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada
para ashhabul furudh sesuai dengan bagian mereka masing-masing.
M. Contoh Masalah
Soal 1 :
Seseorang mati
meninggalkan seorang anak laki-laki, ibu dan seorang isteri, berapa bagiankah
untuk masing-masing?( misalnya ada 24 bagian)
Jawab : Ibu mendapat 1/6 dari harta pusaka.
Isteri mendapat
1/8 dari harta pusaka.
Anak laki-laki
mendapat sisa(ashabah)
Asal masalah :
24
Ibu mengambil
1/6 dari 24.................= 4
bagian
Isteri mendapat
1/8 dari 24................= 3
bagian
Anak laki-laki
mendapat sisa dari 24
Setelah diambil
untuk ibu dan isteri..= 17
bagian
Jumlah= 24 bagian
Soal 2 :
Si A mati
meninggalkan suami, dua orang saudara perempuan dan berapakah bagian
masing-masing?(misalnya 6 bagian)
Jawab : Suami mendapat 1/2 dari harta
pusaka.
2 orang saudara
perempuan mendapat 2/3 dari harta pusaka.
Asal masalah :
6
Suami mendapat
1/2 dari 6............................= 3
bagian
2 orang saudara
perempuan dapat 2/3 dari 6..= 4
bagian
Jumlah
= 7 bagian
Disini ditambah
kelipatan persekutuan yang kecil dari asal masalah 6 menjadi 7, supaya
masing-masing cukup (namanya ‘aul)
Kalau kita
umpamakan simati meninggalkan uang sejumlah Rp. 2.800,- maka cara membaginya
sebagai berikut :
Suami mendapat Rp.
2.800,- X 3..........= Rp. 1.200,-
7
2 orang saudara
perempuan mendapat Rp. 2.800,- X 4.........= Rp. 1.600,-
7 Jumlah= Rp. 2.800,-
N.
Penetapan
Warisan bagi Waria atau Banci/ Sebaliknya
Hadits Darimi 2842
أَخْبَرَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى عَنْ إِسْرَائِيلَ
عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى أَنَّهُ سَمِعَ مُحَمَّدَ بْنَ عَلِيٍّ يُحَدِّثُ عَنْ
عَلِيٍّ فِي الرَّجُلِ يَكُونُ لَهُ مَا لِلرَّجُلِ وَمَا لِلْمَرْأَةِ مِنْ
أَيِّهِمَا يُوَرَّثُ فَقَالَ مِنْ أَيِّهِمَا بَالَ
Dilihat dari alat kelaminnya yang mengeluarkan kencing (dari situlah
ditetapkan statusnya).
Hadits Darimi 2843
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا
هُشَيْمٌ عَنْ مُغِيرَةَ عَنْ شِبَاكٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ عَلِيٍّ فِي
الْخُنْثَى قَالَ يُوَرَّثُ مِنْ قِبَلِ مَبَالِهِ
Ia diberi warisan berdasarkan tempat
keluarnya air kencing.
Hadits Darimi 2844
حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ حَدَّثَنَا أَبُو هَانِئٍ قَالَ
سُئِلَ عَامِرٌ عَنْ مَوْلُودٍ وُلِدَ وَلَيْسَ بِذَكَرٍ وَلَا أُنْثَى لَيْسَ
لَهُ مَا لِلذَّكَرِ وَلَيْسَ لَهُ مَا لِلْأُنْثَى يُخْرِجُ مِنْ سُرَّتِهِ
كَهَيْئَةِ الْبَوْلِ وَالْغَائِطِ سُئِلَ عَنْ مِيرَاثِهِ فَقَالَ نِصْفُ حَظِّ
الذَّكَرِ وَنِصْفُ حَظِّ الْأُنْثَى
(Bagian warisannya adalah) setengah
dari bagian laki-laki & setengah dari bagian perempuan.
O.
Hak Waris Janin dalam Kandungan
Janin dalam kandungan berhak
menerima waris dengan memenuhi dua persyaratan:
- Janin
tersebut diketahui secara pasti keberadaannya dalam kandungan ibunya
ketika pewaris wafat.
- Bayi
dalam keadaan hidup ketika keluar dari perut ibunya, sehingga dapat
dipastikan sebagai anak yang berhak mendapat warisan.
Syarat pertama dapat terwujud dengan
kelahiran bayi dalam keadaan hidup. Dan keluarnya bayi dari dalam kandungan
maksimal dua tahun sejak kematian pewaris, jika bayi yang ada dalam kandungan
itu anak pewaris. Hal ini berdasarkan pernyataan Aisyah r.a.:
"Tidaklah janin akan menetap
dalam rahim ibunya melebihi dari dua tahun sekalipun berada dalam falkah
mighzal."
Pernyataan Aisyah r.a. tersebut
dapat dipastikan bersumber dari penjelasan Rasulullah saw.. Pernyataan ini
merupakan pendapat mazhab Hanafi dan merupakan salah satu pendapat Imam Ahmad.
Adapun mazhab Syafi'i dan Maliki
berpendapat bahwa masa janin dalam kandungan maksimal empat tahun. Pendapat
inilah yang paling akurat dalam mazhab Imam Ahmad, seperti yang disinyalir para
ulama mazhab Hambali.
Sedangkan persyaratan kedua
dinyatakan sah dengan keluarnya bayi dalam keadaan nyata-nyata hidup. Dan tanda
kehidupan yang tampak jelas bagi bayi yang baru lahir adalah jika bayi tersebut
menangis, bersin, mau menyusui ibunya, atau yang semacamnya. Bahkan, menurut mazhab Hanafi, hal ini bisa
ditandai dengan gerakan apa saja dari bayi tersebut.
Adapun menurut mazhab Syafi'i dan
Hambali, bayi yang baru keluar dari dalam rahim ibunya dinyatakan hidup bila
melakukan gerakan yang lama hingga cukup menunjukkan adanya kehidupan. Bila
gerakan itu hanya sejenak --seperti gerakan hewan yang dipotong-- maka tidak
dinyatakan sebagai bayi yang hidup. Dengan demikian, ia tidak berhak mewarisi.
Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah
saw.:
"Apabila bayi yang baru keluar
dari rahim ibunya menangis (kemudian mati), maka hendaklah dishalati dan berhak
mendapatkan warisan." (HR Nasa'i dan Tirmidzi)
Namun, apabila bayi yang keluar dari
rahim ibunya dalam keadaan mati, atau ketika keluar separo badannya hidup
tetapi kemudian mati, atau ketika keluar dalam keadaan hidup tetapi tidak
stabil, maka tidak berhak mendapatkan waris, dan ia dianggap tidak ada.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Harta warisan
adalah harta yang dalam istilah fara’id dinamakan Tirkah (peninggalan)
merupakan sesuatu atau harta kekayaan oleh yang meninggal, baik berupa uang
atau materi lainya yang dibenarkan oleh syariat islam untuk diwariskan kepada
ahli warisnya.dan dalam pelaksanaanya atau apa-apa yang yang ditinggalkan oleh
yang meninggal harus diartikan sedemikian luas sehingga mencakup hal-hal yang
ada pada bagianya. Kebendaan dan sifat-sifatnya yang mempunyai nilai kebendaan.
hak-hak kebendaan dan hak-hak yang bukan kebendaan dan benda-benda yang
bersangkutan dengan hak orang lain.
Pentingnya pembagian warisan untuk
orang-orang yang ditinggalkan dengan seadil-adilnya sudah diatur dalam Islam,
mencegah terjadinya konflik antar ahli waris dan menghindari perpecahan ukhuwah
persaudaraan antar sesama keluarga yang masih hidup. Pembagian
tersebut sudah di atur dalam al-quran dan al hadist Namun ada beberapa
ketentuan yang di sepakati dengan ijma’ dengan seadil-adilnya.
B. Saran
Menyadari bahwa
penulis masih jauh dari kata sempurna, kedepannya penulis akan lebih fokus dan
details dalam menjelaskan tentang makalah di atas dengan sumber - sumber yang
lebih banyak yang tentunga dapat di pertanggung jawabkan.
DAFTAR PUSTAKA
Rifa’i, M.
1978. Ilmu fiqih islam lengkap.
Semarang : Penerbit PT Karya Toha Putra
http://media.isnet.org/islam/Waris
alislamu.com/muamalah/15-waris/317-kitab-al-faraidh-warisan.html
www.mutiarahadits.com/70/33/76/warisan-waria-atau-banci.html
http://mtmiftahulkhoir.wordpress.com/2008/06/17/pembagian-warisan-menurut-islam/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar