MAKALAH
MANTUQ DAN MAFHUM
Dosen
Pengampu : H.
Ahmad Luthfi, S.Ag., M.EI.
Disusun Oleh kel 5 :
Rizko
M.
Ikhsan
Siti
Ajijah
SEMESTER I HUKUM TATA NEGARA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
TAHUN AKADEMIK 2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Ketika kita berbicara mengenai ayat-ayat yang terkandung di dalam Al-Quran,
sebenarnya dari semua ayat yang ada didalam Al-Quran tersebut tidak semuanya
memberikan arti dan pemahaman yang jelas terhadap kita. Jika kita mau telusuri,
ternyata banyak sekali ayat-ayat yang masih butuh penjelasan yang lebih
mendalam mengenai hukum yang tersimpan dalam ayat tersebut.
Sebagai sumber hukum Islam, tidak dibenarkan jika memahami Al-Qur’an hanya
dengan mengandalkan pemahaman teks belaka. Dibutuhkan juga pemahaman yang lebih
dari sekedar teks. Dalam ilmu tafsir kita akan menemukan sebuah pembahasan
tentang mafhum dan mantuq. Mengingat teks Al-Qur’an tidak serta merta memberi
makna yang jelas tentang apa yang dikandungnya, para mufassir membuat
pembahasan ini untuk mempermudah kita memahami kandungan teks.
Jika kita meneliti ayat-ayat Al-Qur’an, akan kita temukan beberapa ayat
yang memberikan pemahaman secara langsung dan jelas, jugaada ayat yang maknanya
tersirat didalam ayat tersebut. Oleh karena itu, agar kita semua memahami dan
mengetahui hukum/makna yang terdapat didalam ayat-ayat Al-Quran, penulis akan
memaparkan sedikit penjelasan mengenai pengertian, pembagian, contoh dari
mantuq dan mafhum serta kehujahannya.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi
mantuq dan mafhum?
2. Bagaimama contoh dan pembagiannya?
3. Bagaimana kehujjahan mantuq dan
mafhum?
C. Tujuan Pembahasan
1.
Mengetahui definisi mantuq dan mafhum.
2.
Mengetahui contoh dan pembagiannya.
3.
Mengetahui kehujjahan mantuq dan mafhum.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Mantuq dan
Pembagiannya
Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”, sedangkan menurut
istilah yaitu pengertian harfiah atau makna yang ditunjukkan oleh lafadz yang
diucapkan itu sendiri. Pada dasarnya mantuq itu dibedakan berupa nash dan
zahir.
Kalangan ulama Syafi’iyah[i], dilâlah
lafal nash dibagi kepada dua macam,
yaitu dilâlat al-mantûq
(دلالـة الـمـنطوق) dan dilâlat
al-mafhûm دلالـة الـمـفـهـوم)). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq
ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ
عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
“Dilalat
al-mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian)
sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.”
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu
ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara
tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada Q.S An-Nisa’ (4): 23:
اللاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ
نِسَائِكُمُ اللاتِي دَخَلْتُمْ
“…
Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu
dari isteri-isteri yang telah kamu campuri…”
Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mantuq-nya ialah menunjukkan secara jelas bahwa
haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri
yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu; mantûq
sarih dan mantuq gairu sharih.
1. Mantûq Sarih
Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sharih ialah penunjukkan
lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash.
Manthuq syarih dalam istilah ulama Syafi’iyah ini adalah apa yang di istilahkan
dengan dilalah ibarah dalam pengertian ulama Hanafiyah.
Pada dasarnya mantuq ada yang berupa nas, zahir:
a. Nash
Adalah lafadz yang bentuknya telah dapat menunjukkan makna yang secara
tegas dan tidak mengandung kemungkinan makna lain. Seperti firman Allah swt.
dalam Surat al-Baqarah: 196
“Maka wajib berpuasa 3 hari
dalam masa haji dan tujuh hari lagi
apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh hari yang sempurna.”
Tujuan utama dari mantuq nash ialah kemandirian dalam menunjukkan makna
secara pasti.
b. Zahir
Adalah suatu perkara yang menunjukkan sesuatu makna yang segera dipahami
ketika ia diucapkan, tetapi disertai kemungkinan makna lain yang lemah. Seperti
firman Allah swt dalam Q.S. al-Baqarah: 173 yang artinya:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu
bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut
(nama) selain Allah[108]. tetapi Barangsiapa dalam Keadaan terpaksa
(memakannya) sedang Dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas,
Maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.”
2. Mantûq Ghairu Sarih
Mantuq gairu sharih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas. Dan
terbagi menjadi 3 macam:
a. Dalalat
al-Ima’, yaitu suatu pengertian yang bukan ditunjukkan langsung oleh suatu
lafal, tetapi melalui pengertian logisnya karena memyebutkan suatu hukum
langsung setelah menyebut suatu sifat atau peristiwa.
Misalnya, hadits yang riwayat Ahmad dan Tirmidzi dari Sa’id bin Zaid bahwa
Rasulullah saw. bersabda:
عَنْ
جَابِرِبْنِ عَبْدِ اللَّهِ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ مِنْ أَحْيَ أَرْضًا مَيِّتَةً فَهِيَ لَهُ {رواه الترمذى}
“Dari Jabir
bin Abdillah, dari Nabi Muhammad saw. bersabda: Barangsiapa yangmenghidupkan
(mulai mengelolah) tanah yang sudah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” ( HR.
At-Tirmidzi)
Hadits tersebut di samping menunjukkan hukum melalui mantuqnya seperti yang
jelas tertulis, juga melalui dalalat al-ima’nya, yaitu bahawa aktivitas
menghidupkan tanah mati itulah yang menjadi illatnya bagi pemilikan tanah
untuknya.
b. Dalalat al-Isyarah adalah suatu
pengertian yang ditunjukkan oleh suatu redaksi, namun bukan pengertian aslinya,
tetapi merupakan suatu kemestian atau konsekuensi dari hukum yang ditunjukkan
oleh redaksi itu.
Contohnya dalam surat Al-Luqman ayat 14: yang artinya:
“Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat
baik) kepada dua orang ibu bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan
lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun”[ii][vi]
c. Dalalat al-Iqtida’ adalah pengertian
kata yang disisipkan secara tersirat (dalam pemahaman) pada redaksi tertentu
yang tidak bisa dipaami secara lurus kecuali dengan adanya penyisipan itu.
Contohnya sebuah hadits Rasulullah menjelaskan:
عَنْ أَبِي
ذَرٍّ الْغِفَارِ يٍّ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللّهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِنَّ اللّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي الْخَطَأَ وَالنِّسْيَانَ وَمَا
اسْتَكْرِهُوَا عَلَيْهِ {رواه ابن ماجه}
“Dari Abu
Dzar al-Ghiffari berkata, Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya Allah
mengangkat dari umatku tersalah, lupa dan keterpaksaan.” (HR. Ibnu
Majah).
Hadits tersebut secara jelas menunjukkan bahwa tersalah, lupa dan
keterpaksaan diangkatkan dari umat Muhammad saw. pengertian tersebut sudah
jelas ridak lurus, karena bertentangan dengan kenyataan.
Untuk meluruskan maknanya perlu
disisipkan secara tersirat kata al-ism (dosa) atau al-hukm (hukum), sehingga
demikian arti hadits menjadi :
diangkatkan dari umatku (dosa atau hukum) perbuatan tersalah, karena lupa
atau karena keterpaksaan.
B. Mafhum dan
Pembagiannya
Mafhum secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks,
sedangkan menurut istilah adalah “pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum
muwafaqah) atau pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan
(mafhum mukhalafah).
Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu
ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat.
Contohnya Q.S al-Isra’ ayat 23:
“Jangan kamu mengucapkan kepada
kedua ibu bapakmu ucapan “uf” dan janganlah kamu membentak keduanya”.
Hukum yang tersurat dalam ayat tersebut adalah larangan mengucapkan kata
kasar “uf” dan menghardik orang tua. Dari ayat itu juga dapat dipahami adanya
ketentuan hukum yang tidak disebutkan (tersirat) dalam ayat tersebut, yaitu
haramnya memukul orang tua dan perbuatan lain yang menyakiti orang tua.
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah.
1. Mafhum
Muwafaqah
Adalah suatu petunjuk kalimat yang menunjukkan bahwa hukum yang tertulis
pada kalimat itu berlaku pada masalah yang tidak tertulis, dan hukum yang
tertulis ini sesuai dengan masalah yang tidak tertulis karena ada persamaan
dalam maknanya. Disebut mafhum muwafaqah karena hukum yang tidak tertulis
sesuai dengan hukum yang tertulis.
Mafhum muwafaah dibagi menjadi dua bagian:
a. Fahwal
Khitab, yaitu apabila yang dipahamkan lebih utama hukumnya daripada yang
diucapkan.
Contohnya
firman Allah swt dalam QS. Al-Isra’ ayat 23:
“Janganlah engkau membentak
keduanya( ibu bapakm).”
Sedangkan
kata-kata keji saja tidak boleh (dilarang) apalagi memukulnya.
b. Lahnal
Khitab, yaitu apabila yang tidak diucapkan sama hukumnya dengan yang diucapkan.
Seperti
firman Allah swt. Yang artinya:
“Sesungguhnya
orang-orang yang memakan harta benda anak yatim secara aniaya sebenarnya
memakan api kedalam perut mereka”.
Membakar atau setiap cara yang menghabiskan harta anak yatim sama hukumnya
dengan memakan harta anak yatim, yang berartti dilarang (haram).
2. Mafhum
mukhalafah
Adalah pengertian yang dipahami berbeda dengan ucapan, baik dalam istinbat
(menetapkan) maupun nafi (meniadakan). Oleh karena itu, hal yang dipahami
selalu kebalikannya daripada bunyi lafal yang diucapkan. Seperti dalam firman
Allah swt pada QS. al-Jum’ah ayat 9 yang artinya:
“Apabila kamu dipanggil untuk mengerjakan
sholat pada hari jum’at, maka bersegeralah kamu mengerjakan dan tinggalkan jual
beli.”
Dapat dipahami dari ayat ini, bahwa boleh jual beli di hari jum’at sebelum adzan
si mu’adzin dan sesudah mengerjakan sholat.
Mafhum
mukhalafah sendiri terbagi menjadi :
a. Mafhum al-Washfi (pemahaman dengan
sifat) adalah petunjuk yang dibatasi oleh sifat, menghubungkan hukum sesuatu
kepada syah satu sifatnya.
Dalam mafhum sifat terdapat tiga bagian, yaitu mushtaq, hal (keterangan
keadaan) dan ‘adad (bilangan).
Misalnya pada sabda Rasulullah saw.:
فِي السَّائِمَةِ زَكاَةِ
“para
binatang yang digembalakan itu ada kewajiban zakat”
Mafhum mukhalafahnya adalah binatang yang diberi makan, bukan yang
digembalakan.
Mafhum sifat
ada 3 macam:
1) Mustaq dalam
ayat.
Contohnya
dalam QS. Al-Hujarat ayat 6 yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang
kepadamu orang-orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti
agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui
keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Dapat
dipahami dari ungkapan kata ‘fasiq’ ialah orang yang tidak wajib ditelliti
beritanya. Ini berarti bahwa berita yang disampaikan oleh seseorang yang adil
wajib diterima.
2) Hal
(keterangan keadaan)
Seperti
fiman Allah, QS. Al-Maidah ayat 95 yang artinya:
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu membunuh binatang buruan, ketika kamu
sedang ihram. Barangsiapa diantara kamu membunuhnya dengan sengaja, maka
dendanya ialah mengganti dengan binatang ternak seimbang dengan buruan yang
dibunuhnya, menurut putusan dua orang yang adil diantara kamu sebagai had-yad
yang dibawa sampai ke Ka’bah atau (dendanya) membayar kaffarat dengan memberi
makanan orang-orang miskin atau berpuasa seimbang dengan makanan yang
dikeluarkan itu, supaya dia merasakan akibat buruk dari perbuatannya. Allah
telah memaafkan apa yang telah lalu dan barangsiapa yang kembali mengerjakannya,
niscaya Allah akan menyiksanya, Allah Maha Kuasa lagi mempunyai (kekuasaan
untuk) menyiksa.”
Ayat ini
menunjukkan tiadanya hukum bagi orang yang membunuhnya karena tak sengaja.
Sebab penentuan “sengaja” dengan kewajiban membayar denda dalam pembunuhan binatang
buruan tidak sengaja.
3) ‘Adad (bilangan)
Seperti
firman Allah dalam QS. Al-Baqarah ayat 197 yang artinya:
“(Musim)
haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya
dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasikh
dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji dan apa yang kamu
kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah dan
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah taqwa dan bertaqwalah kepada-Ku, hai
orang-orang yang berakal.”
Mafhumnya
ialah melakukan ihram diluar bulan-bulan itu tidak syah.
b. Mafhum illat adalah menghubungksn hukum sesuatu karena
illatnya. Mengharamkan minuman keras karena memabukkan.
c. Mafhum ghayah (pemahaman dengan batas akhir) adalah lafal
yang menunjukkan hukum sampai pada ghayah (batasan, hinggaan), hingga lafal
ghayah ini ada kalanya dengan “illa” dan dengan “hatta’. Seperti dalam firman
Allah SWT dalam surat al-Maidah ayat 6 yang artinya:
“bila kamu hendak nmengerjakan sholat, maka basuhlah
mukamu dan tanganmu sampai kepada siku”.
Mafhum
mukhalafahnya adalah membasuh tangan sampai kepada siku.
d. Mahfum laqaab (pemahaman dengan
julukan) adalah menggantungkan hukum kepada isim alam atau isim fiil. Seperti
firman Allah SWT:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu.” Mafhum mukhalafahnya adalah selain para
ibu.
e. Mafhum hasr adalah pembatasan.
Seperti dalam firman Allah swt.:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ
نَسْتَعِيْنُ
“Hanya
Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta
pertolongan.”
Mafhum mukhalafahnya adalah bahwa selain Allah tidak disembah dan tidak
dimintai pertolongan. Oleh karrena itu, ayat tersebut menunjukkan bahwa hanya
Dia-lah yang berhak disembah dan dimintai pertolongan.
f. Mafhum syarat , adalah petunjuk
lafadz yang memberi fadah adanya hukum yang dihubungkan dengan syarat supaya
dapat berlaku hukum yang sebaliknya. Seperti dalam surat al-Thalaq ayat 6:
“...Dan jika
mereka (istri-istri yang sudah ditalak) itu sedang hamil, maka berikanlah
kepada mererka nafkahnya.”
Mafhum mukhalafahnya adalah istri-istri tertalak itu tidak sedang hamil,
tidak wajib diberi nafkah.
C. Kehujjahan
Mantuq sudah jelas bisa dijadikan hujjah, karena lafalnya yang jelas.
Begitu juga dengan mafhum muwafaqah. Para ulama’ bersepakat, bahwa semua mafhum
bisa dijadikan sebagai hujjah kecuali mafhum laqaab. Hal ini disebabkan karena
penyebutan isim ‘alam atau isim jenis itu sekedar untuk penyebutan adanya hukum
padanya bukan untuk membatasi atau mengkhususkan berlakunya hukum padanya saja.
Oleh karena itu, dalam hal ini tidak dapat diberlakukan hukum sebaliknya,
kecuali jika ada dalil lain yang menentukannya. Seperti firman Allah :
“Muhammad adalah utusan Allah.”
Ayat tersebut jika diambil mafhum mukhalafahnya akan memberikan pengertian
bahwa selain Nabi Muhammad addalah utusan Allah. Inii jelas bertentangan dengan
nash yang ada.
Berhujjah dengan mafhum masih diperselisihkan. Menurut pendapat yang paling
shahih, mafhum-mafhum tersebut boleh dijadikan hujjah (dalil, argumentasi)
dengan beberapa syarat, antara lain:
1. Apa yang
disebutkan bukan dalam kerangka “kebiasaan” yang umum. Misalnya “yang ada dalam
pemeliharaanmu” dalam QS. An-Nisa’ :23 yang artinya “... dan anak-anak
perempuan dan istri-istrimu yang ada dalam pemeliharaanmu...”, ini tidak ada
mafhumnya (maksudnya ayat ini tidak dapat dipahami bahwa anak tiri yang tidak
dalam pemeliharaan ayah tirinya boleh dinikahi), sebab pada umumnya anak-anak
perempouan istri kitu berada dalam pemeliharaan suami.
2. Apa yang
disebutkan itu tidak untuk menjelaskan suatu realita. Seperti firman Allah QS.
Al-Mu’minin: 117 ; yang artinya “ Dan barangsiapa menyembah Tuhan yang lain di
samping Allah, padahal tidak ada suatu dalilpun baginya tentang itu, maka
sesungguhnya perhitungan di sisi Tuhannya. Sesungguhnya orang-orang yang kafir
itu tiada beruntung.”
Dalam kenyataannya Tuhan manapun selain dari Allah tidak ada dalilnya. Jadi
kata-kata “ padahal tidak ada satu dalilpun baginya tentang itu” adalah suatu
sifat yang pasti yang didatangkan untuk memperkuat realita realita dan untuk
menghinkan orang yang menyembah Tuhan di samping Allah, bukan untuk pengertian
bahwa menyembah Tuhan-tuhan itu boleh asal dapat ditegakkan dalilnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari
berbagai pembahasan yang telah kami paparkan diatas dapat disimpulkan
bahwasannya: Mantuq secara bahasa adalah “sesuatu yang diucapkan”,
sedangkan menurut istilah yaitu
pengertian harfiah yang ditunjukkan oleh lafadz yang diucapkan itu sendiri.
Manthuq sendiri terbagi menjadi nash, zahir dan mu’awwal. Sedangkan Mafhum
secara bahasa adalah sesuatu yang dipahami dari suatu teks, sedangkan menurut
istilah adalah “ pengertian tersirat dari suatu lafal (mahfum muwafaqah) atau
pengertian kebalikan dari pengertian lafal yang diucapkan (mafhum mukhalafah).
Mafhum dapat dibagi kepada dua macam, yaitu mafhum muwafaqah dan mafhum
mukhalafah. Dalam mafhum muwafaqah terdapat (fahwal khitab dan lahnal khitab).
Sedangkan dalam Mafhum mukhalafat terdapat (mafhum al-washfhi, illat, ghayah,
laqaab, hasr dan syarat).
Mantuq dan
mafhum muwafaqah dapat dijadikan sebagai hujjah, namun untuk mafhum mukhalafah
terdapat pengecualian. Yaitu mafhum laqab yang tidak bisa dijadikan sebagai
hujjah.
B. Saran
Menyadari bahwa penulis masih jauh dari kata sempurna,
kedepannya penulis akan lebih fokus dan details dalam menjelaskan tentang
makalah di atas dengan sumber - sumber yang lebih banyak yang tentunga dapat di
pertanggung jawabkan.
C.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdul Wahhab
Khallaf. Ilmu Ushul Fiqih Kaidah Hukum Islam. Cetakan pertama. Jakarta :
Pustaka Amani, 2003.
Karim,
Asyafe’i. Fiqih Ushul Fiqih. Cetakan kedua. Bandung : CV Pustaka Setia, 2001.
Sya’ban,
al-Din. Ushul al-Fiqh al-Islami. Mesir: Dar al-Ta’lif, 1965
Syafe’i,
Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Cetakan keempat. Bandung : CV. Pustaka Setia, 2010.
Syarifuddin,
Amir. Ushul Fiqh, Jilid II. Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 2001.
Tim
Penyusun. Studi Al-Qur’an. Cetakan pertama. Surabaya : IAIN SA Press, 2011.
Zuhaili,
Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islam, Jilid I. Damaskus: Dar al-Fikr, 1986
Baca juga artikelku yang lainnya
follow instagram rizko___
Tidak ada komentar:
Posting Komentar