MAKALAH
EPISTIMOLOGI FILSAFAT
Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen
Pengampu :
Disusun Oleh : Rizko
SEMESTER II HUKUM TATA
NEGARA
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM AN-NADWAH
TAHUN AKADEMIK 2017/2018
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Masalah epistemologi bersangkutan
dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab
pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana
apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas
pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada
akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai
suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi.
Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan,
atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya
kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan
batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak
dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004)
Dalam pembahasan
filsafat, epistemologi dikenal
sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi
epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori
pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari
objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu
tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi
adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun
fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem
ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi,
kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu
yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil
pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
B.
Rumusan Masalah
1. Apa
arti dari epistemologi?
2. Apa
yang di maksud epistemologi filsafat?
3. Apa
saja objek dan tujuan epistemologi?
4. Apa
landasan dari epistemologi?
5. Apa
saja pengaruh-pengaruh dari epistemologi?
C.
Tujuan Penulisan
1. Mengetahui
arti dari epistemologi.
2. Mengetahui
apa yang di maksud epistemologi filsafat.
3. Mengetahui
apa saja objek dan tujuan epistemologi.
4. Mengetahui
apa landasan dan pengaruh dari epistemologi.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian epistimologi
Epistemologi
(filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian
epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai
hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik
kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan
arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang
dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan.
Pengetahuan,pengandaian-pengandaian,
dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai
pengetahuan yang dimiliki. Masalah utama dari epistemologi adalah
bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat
dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan
epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia
mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen
untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan
menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna
pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu
sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.[1]
Dalam
epistemologi peroses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang paling
mendasar, sebab hal inia kan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang
sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya
baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang
terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun
pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena
adanya pengalaman.[2]
B. Epistemologi Filsafat
Epistemelogi
filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang di pikirkan),
cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahan filsafat).
1. Objek filsafat
Tujuan
berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika
hasil pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau struktur filsafat
dalam garis besar terdiri dari ontology, epistemologi, dan eksiologi.
Isi
setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa yang di teliti (pemikiranya).
Jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat pendidikan, jika yang di
pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah filsafat hukum, dan begitu juga
seterusnya. Seberapa luas yang kemungkinaan dapat di pikirkan? luas
sekali.yaitu semua yang ada dan mungkin ada, inilah objek filsafat. Jika ia
memikirkan etika jadilah filsafat etika, dst.
Objek
penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti
objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti ojek yang ada dan mungkin ada.
Sebenarnaya masih ada objek lain yang di sebut objek forma yang menjelaskan
tentang sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini di bicarakan pada
efistemologi filsafat.
Perlu
juga di tegaskan (lagi) bahwa sains meneliti objek-objek yang ada dan emperis;
yang ada tetapi abstak (tidak emperis) tidak dapat meneliti oleh sain.
Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin
ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada.
[3]
2. Cara memperoleh
pengtahuan filsafat
Pertama-tama
filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara mereka memperoleh
pengtahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat ke pada filosof antara lain
karena ketelitian mereka, sebelum mmencarai pengetahuan mereka membicarakan
lebih dahulu (dan mempertanggung jawabkan) cara memperoleh pengetahauan
tersebut. Sifat itu sering kurang di pedulikan kebanyakan orang .
pada umumnya orang mementingkan apa yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara
memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegebah, para filosof bukan orang yang
gegabah.
Berfilsafat
ialah berpikir, berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa
sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba sistematika
filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal ini, ia meliht pada jamannya
akal telah di gunakan secara terlalu bebas, telah di gunakan sampai luar batas
kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada massa itu.
Sejak
650 SM sampai berakhirnya filsafat yunani akan mendominasi.selama 1500 tahun
sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada
keyakinaaan Kristen; akal di bawah agama (Kristen) modern, akan kembali
mendominasi filsafat.
Descartes
(1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan filsafat
dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat, sejak ini
filsafat di dominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire
telah berhasil memisahkan akal dengan iman, francis Baacon amat yakin pada
kekuatan sain dan logika. Sain dan logika di anggap mampu
menyelesaikan semua masalah (Will Durant,the story of philosophy, 1959:
254) Ccondercet mendukung Bacon : sain dan logika itulah yang penting. Kemudian
pemikiran itu di ikuti pula oleh pemikiran Jerman Christian wolff dan Lessing,
bahkan pemikiran francis mendramatisasi keadaan itu sehingga akal telah di
tuhankan. Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa
alam semesta ini laksana suatu system matematika dan dapat di
jelaskan secara a priori dengan cara
mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada
keponggohan manusia dengan menggunakan akalnya, karena itu tidaklah perlu kaget
tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan
Materialisme yang nonkompromis.
Sejak
Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman telah tunduk di bawah
kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbch menawarkan ide yang “edan” itu di
Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan
pemikiran ini di Jerman.
Tatkala
pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, setelah
itu cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik nadirnya dan
akal telah Berjaya.
David
hume (1711-1704) telah meneliti akal.ia berhasil tampil dengan argumennya
tentang kerasionalan agama Kristen. Pengetahuan kita datang dari pengalaman
begitu katanya. Teorinya tabula rasamenjelaskan pandanngannya itu.
Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu
materialisme harus di terima . bila pengindraan adalah asal- usul pemikiran,
maka kesimpulanya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak
demikian kata Uskup georgre Berkeley (1684-1753), analisis Locke itu justru
membuktikan materi itu sebenarnaya tidak ada. David Hume seorang uskup Irlandia
berpendapat lain.katanya, kita mengetahui apa jiwa itu, sama dengan
mengenal materi , yaitu dengan persepsi, jadi secara internal. Kesimpulanya
ialah bawa jiwa itu bukan substansi,suatu organ memiliki idea-idea; jiwa
sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya Huma
sudah menghancurkan mind sebagaimana Berkeley menghancurkan
materi.
Sekarang
tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya berada di tengah-
tengah reruntuhan hasil karya sendiri. Jangan kaget bila anda mendengar kta-
kata begini : No matter never mind.Semua ini gara- gara akal. Akal
telah menggunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh
karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu, di lain pihak
memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan masalah hakikat
sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi
baiklah, kita terima saja bawa akal itu saja dan ia bekerja berdasarkan cara
yang tidak begitu kita kenal, aturan kerjanya di sebut logika, agaknya kita
dapat mennerima kebenarnya.
Bagaimana
manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir secara mendalam,
sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya sesuatu yang konkret,
tetapiyang hendak di ketahui adalah bagian di” belakang” objek konkret itu. Dus
abstrak juga.
Secara
mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu itu, ia ingin
mengetahui sedalam-dalamnya. Kapan pengtahuan itu di katakana
mendalam?. Dikatakan mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya.
Dia tidak dapat maju di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu
itu secara mendalam. Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam
bagi orang lain.
Seperti
telah di buat di muka, sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini tidak
mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh mana hal abstrak di
belakang fakta empiris itu dapat di ketahui oleh seseorang, akan
banyak terganntung pada kemampuan berpikir seseorang.
Jika
kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, apa yang akan kita
gunakan ?, ya, akal itu, apapun kelemahan akal, bahkan sekali pun akal amat di
ragukan hakikat keberadannya, toh akal yang menghasilkan apa yang di sebut
filsafat. Kelihatanya, ada satu hal yang penting di sini : janganlah hidup ini
di gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan seluruhnya oleh
filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum di ketahui secara
jelas identitasnya. [4]
3. Ukuran
kebenaran filsafat
Pengetahuan
filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan
bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila
logis benar, bila tidak logis, salah.
Kebenaran
teori filsafat di tentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya
tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan ( teori) itu.
Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting,sama dengan fungsi data pada
pengetahuan sain, argument itu terjadi kesatuan dengan konklasi,konklasi itulah
yang di sebut ilmu filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan
argumen, bukan pada kehebatan konkulasi. Karena argument itu menjadi kesatuan
konkulasi,maka boleh juga di terima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu
argumen kebenaran konkulasi di tentukan 100% oleh argumennya.
C. Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang
pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu
bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan
tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan.
Meskipun berbeda, tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang
berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai
sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama
kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan
inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran,
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “
tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk
memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi
yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting
dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan
tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika
pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan
sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan
cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh
pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan
melambangkan sikap dinamis. [5]
D. Landasan Epistemologi
Landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi,
ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan
lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu
merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut
ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode
ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu
pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan sangat
bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong
oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio
atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini
telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu
masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia
dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut
pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang
dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Pada
silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik
menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka
harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi
sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari
premis mayor ini dimunculkan premis minor yang merupakan bagia dari premis
mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Dismping itu,
pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan
suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita
berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka
berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan
persoalan, sebab kriteria penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi
pula kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut
kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu
menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya.
Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar
Karena
kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran
empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin
mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mau engumpulkan fakta
melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan
dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon
menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil
pengamatan.
E. Pengaruh Epistemologi
Sebagai
teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus
berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau
disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi
juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori
yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan
sangat membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan
pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga
perkembangan ilmu pengetahuan relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan
memperkuat penguasaannya.[6]
Secara
global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban
sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat
strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun
teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak
lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat
dari pemanfaatan dan
pengembangan epistemologi. [7]
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1. Arti
epistemologi
Epistemologi
(filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan.
Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam
pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan
secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian
epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai
hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik
kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan
arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau
alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang
dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[1] Istilah
epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar
dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi
epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat
tentang pengetahuan.
2. Epistemologi
filsafat
Epistemelogi
filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang di pikirkan),
cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahan filsafat).
3. Objek
dan tujuan epistemologi
Sebagai
sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama
kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini
menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam
usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan
inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi
mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap
perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran,
mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran
menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya,
apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “
tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah
saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya
dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh
pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi
pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu,
yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
4. Landasan
epistemologi
Landasan
epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam
menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam
mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
5. Pengaruh
epistemologi
Sebagai
teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis
secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus
berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau
disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Secara
global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban
sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan
kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis
dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat
bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun
teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata
teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.
B. Saran
Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik
dari Ibu pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya. Aamiin.
[1]
http://belongtosarah.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi.html.
Di akses Rabu 21 Mei 2014 (12:03 AM)
[2]
Sudarsono.2001.Ilmu
Filsafat. hal 138
[3]
Ahmad Tafsir.2009.Filsafat
Ilmu. hal 43
[5]
Qomar
Mujammil, epistemologipendidikanislam: dari metoderasionalhinggametode
kritik,( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
[7]
Qomar Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam: dari
Metode Rasional Hingga Metode Kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 27