Kamis, 16 Agustus 2018

Makalah Epistimologi Filsafat | Mata Kuliah Filsafat Umum


MAKALAH
EPISTIMOLOGI FILSAFAT
Mata Kuliah : Filsafat Umum
Dosen Pengampu : 



Disusun Oleh : Rizko

SEMESTER II HUKUM TATA NEGARA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AN-NADWAH
KUALA TUNGKAL
TAHUN AKADEMIK 2017/2018



BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
            Masalah epistemologi bersangkutan dengan pertanyaan-pertanyaan tentang pengetahuan. Sebelum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan kefilsafatan, perlu diperhatikan bagaimana dan sarana apakah kita dapat memperoleh pengetahuan. Jika kita mengetahui batas-batas pengetahuan, kita tidak akan mencoba untuk mengetahui hal-hal yang pada akhirnya tidak dapat diketahui. Sebenarnya kita baru dapat menganggap mempunyai suatu pengetahuan setelah kita meneliti pertanyaan-pertanyaan epistemologi. Kita mungkin terpaksa mengingkari kemungkinan untuk memperoleh pengetahuan, atau mungkin sampai kepada kesimpulan bahwa apa yang kita punyai hanya kemungkinan-kemungkinan dan bukannya kepastian, atau mungkin dapat menenatapkan batas-batas antara bidang-bidang yang memungkinkan adanya kepastian yang mutlak dengan bidang-bidang yang tidak memungkinkannya (Luis O. Kattsoff, 2004)
Dalam pembahasan filsafat, epistemologi dikenal sebagai sub sistem dari filsafat. Sistem filsafat disamping meliputi epistemologi, juga ontologi dan aksiologi. Epistemologi adalah teori pengetahuan, yaitu membahas tentang bagaimana cara mendapatkan pengetahuan dari objek yang ingin dipikirkan. Ontologi adalah teori tentang “ada”, yaitu tentang apa yang dipikirkan, yang menjadi objek pemikiran. Sedangkan aksiologi adalah teori tentang nilai yang membahas tentang manfaat, kegunaan maupun fungsi dari objek yang dipikirkan itu. Oleh karena itu, ketiga sub sistem ini biasanya disebutkan secara berurutan, mulai dari ontologi, epistemologi, kemudian aksiologi. Dengan gambaran senderhana dapat dikatakan, ada sesuatu yang dipikirkan (ontologi), lalu dicari cara-cara memikirkannnya (epistemologi), kemudian timbul hasil pemikiran yang memberikan suatu manfaat atau kegunaan (aksiologi).
B. Rumusan Masalah
1.    Apa arti dari epistemologi?
2.    Apa yang di maksud epistemologi filsafat?
3.    Apa saja objek dan tujuan epistemologi?
4.    Apa landasan dari epistemologi?
5.    Apa saja pengaruh-pengaruh dari epistemologi?
C. Tujuan Penulisan
1.    Mengetahui arti dari epistemologi.
2.    Mengetahui apa yang di maksud epistemologi filsafat.
3.    Mengetahui apa saja objek dan tujuan epistemologi.
4.    Mengetahui apa landasan dan pengaruh dari epistemologi.


                                                            BAB II       
PEMBAHASAN
A.  Pengertian epistimologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge. Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
Pengetahuan,pengandaian-pengandaian, dan dasar-dasarnya serta pertanggungjawaban atas pertanyaan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Masalah utama dari epistemologi adalah bagaimana cara memperoleh pengetahuan, Sebenarnya seseorang baru dapat dikatakan berpengetahuan apabila telah sanggup menjawab pertanyaan-pertanyaan epistemologi artinya pertanyaan epistemologi dapat menggambarkan manusia mencintai pengetahuan. Hal ini menyebabkan eksistensi epistemologi sangat urgen untuk menggambar manusia berpengetahuan yaitu dengan jalan menjawab dan menyelesaikan masalah-masalah yang dipertanyakan dalam epistemologi. Makna pengetahuan dalam epistemologi adalah nilai tahu manusia tentang sesuatu sehingga ia dapat membedakan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya.[1]
Dalam epistemologi peroses terjadinya pengetahuan menjadi masalah yang paling mendasar, sebab hal inia kan mewarnai pemikiran kefilsafatannya. Pandangan yang sederhana dalam memikirkan proses terjadinya pengetahuan yaitu dalam sifatnya baik a priori maupun a porteriori. Pengetahuan a priori adalah pengetahuan yang terjadi tanpa adanya atau melalui pengalaman, baik pengalaman indera maupun pengalaman batin. Sedangkan a posteriori adalah pengetahuan yang terjadi karena adanya pengalaman.[2]


B.  Epistemologi Filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahan filsafat).

1.   Objek filsafat
Tujuan berfilsafat ialah menemukan kebenaran yang sebenarnya, yang terdalam. Jika hasil pemikiran itulah sistematika flsafat. Sistematika atau struktur filsafat dalam garis besar terdiri dari ontology, epistemologi, dan eksiologi.
Isi setiap cabang filsafat di temukan oleh objek apa yang di teliti (pemikiranya). Jika ia memikirkan pandidikan maka jadilah filsafat pendidikan, jika yang di pikirkannya adalah hukum maka hasilnya tentulah filsafat hukum, dan begitu juga seterusnya. Seberapa luas yang kemungkinaan dapat di pikirkan? luas sekali.yaitu semua yang ada dan mungkin ada, inilah objek filsafat. Jika ia memikirkan etika jadilah filsafat etika, dst.
Objek penelitian filsafat lebih luas dari objek penelitian sain. Sain hanya meneliti objek yang ada, sedangkan filsafat meneliti ojek yang ada dan mungkin ada. Sebenarnaya masih ada objek lain yang di sebut objek forma yang menjelaskan tentang sifat kemendalaman penelitian filsafat. Ini di bicarakan pada efistemologi filsafat.
Perlu juga di tegaskan (lagi) bahwa sains meneliti objek-objek yang ada dan emperis; yang ada tetapi abstak (tidak emperis) tidak dapat meneliti oleh sain. Sedangkan filsafat meneliti objek yang ada tetapi abstrak, adapun yang mungkin ada, sudah jelas abstrak, itu pun jika ada. [3]

2.      Cara memperoleh pengtahuan filsafat
Pertama-tama filosof harus membicarakan (mempertanggungjawabkan) cara mereka memperoleh pengtahuan filsafat. Yang menyebabkan kita hormat ke pada filosof antara lain karena ketelitian mereka, sebelum mmencarai pengetahuan mereka membicarakan lebih dahulu (dan mempertanggung jawabkan) cara memperoleh pengetahauan tersebut. Sifat itu sering kurang di pedulikan kebanyakan  orang . pada umumnya orang mementingkan apa yang di peroleh atau di ketahui, bukan cara memperoleh atau mengetahuinya. Ini gegebah, para filosof bukan orang yang gegabah.
Berfilsafat ialah berpikir, berpikir itu tentu menggunakan akal. Menjadi persoalan, apa sebenarnya akal itu. John Locke (Sidi Gazalba  sistematika filsafat, II,1973: 111) mempersoalkan hal ini, ia meliht pada jamannya akal telah di gunakan secara terlalu bebas, telah di gunakan sampai luar batas kemampuan akal. Hasilnya ialah kekacauan pemikiran pada massa itu.
Sejak 650 SM sampai berakhirnya filsafat yunani akan mendominasi.selama 1500 tahun sesudahnya, yaitu selama Abad Tengah Kristen, akal harus tunduk pada keyakinaaan Kristen; akal di bawah agama (Kristen) modern, akan kembali mendominasi filsafat.
Descartes (1596-1650) dengan cogito ergo sum-nya berusaha melepaskan filsafat dari dominasi agama Kristen. Ia ingin akal mendominasi filsafat, sejak ini filsafat di dominasi oleh akal. Akal menang lagi.
Voltaire telah berhasil memisahkan akal dengan iman, francis Baacon amat yakin pada kekuatan sain dan logika. Sain dan logika di anggap mampu menyelesaikan  semua masalah (Will Durant,the story of philosophy, 1959: 254) Ccondercet mendukung Bacon : sain dan logika itulah yang penting. Kemudian pemikiran itu di ikuti pula oleh pemikiran Jerman Christian wolff dan Lessing, bahkan pemikiran francis mendramatisasi keadaan itu sehingga akal telah di tuhankan. Spinoza meningkatkan kemampuan akal tatkala ia menyimpulkan bahwa alam semesta ini laksana suatu system matematika dan dapat di jelaskan  secara  a priori  dengan cara mendeduksi aksioma-aksioma. Filsafat ini jelas memberikan dukungan kepada keponggohan manusia dengan menggunakan akalnya, karena itu tidaklah perlu kaget tatkala Hobbes meningkatkan kemampuan akal ini menjadi Atheisme dan Materialisme yang nonkompromis.
Sejak Spinoza sampai Diderot kepingan-kepingan iman telah tunduk di bawah kaidah-kaidah akliah. Helvetius dan Holbch menawarkan ide yang “edan” itu di Prancis, dan La Mettrie, yang menyatakan manusia itu seperti mesin, menjajakan pemikiran ini di Jerman.
Tatkala pada tahun 1784 Lessing mengumumkan bahwa ia menjadi pengikut Spinoza, setelah itu cukup sebagai pertanda bahwa iman telah jatuh sampai ke titik nadirnya dan akal telah Berjaya.
David hume (1711-1704) telah meneliti akal.ia berhasil tampil dengan argumennya tentang kerasionalan agama Kristen. Pengetahuan kita datang dari pengalaman begitu katanya. Teorinya tabula rasamenjelaskan pandanngannya itu. Ia berkesimpulan bahwa yang dapat kita ketahui hanya materi, karena itu materialisme harus di terima . bila pengindraan adalah asal- usul pemikiran, maka kesimpulanya haruslah materi adalah material jiwa.
Tidak demikian kata Uskup georgre Berkeley (1684-1753), analisis Locke itu justru membuktikan materi itu sebenarnaya tidak ada. David Hume seorang uskup Irlandia berpendapat lain.katanya, kita mengetahui apa jiwa itu,  sama dengan mengenal materi , yaitu dengan persepsi, jadi secara internal. Kesimpulanya ialah bawa jiwa itu bukan substansi,suatu organ memiliki idea-idea; jiwa sekedar suatu nama yang abstrak untuk menyebut rangkaian idea. Hasilnya Huma sudah menghancurkan mind sebagaimana Berkeley menghancurkan materi.
Sekarang tidak ada lagi yang tersisa, dan filsafat menemukan dirinya berada di tengah- tengah reruntuhan hasil karya sendiri. Jangan kaget bila anda mendengar kta- kata begini : No matter never mind.Semua ini gara- gara akal. Akal telah menggunakan melebihi kapasitasnya.
Oleh karena itu Locke menyelidiki lagi, apa sebenarnya akal itu, di lain pihak memang Locke berpendapat bahwa kita belum waktunya membicarakan masalah hakikat sebelum kita mengetahui dengan jelas apa akal itu sebenarnya.
Tetapi baiklah, kita terima saja bawa akal itu saja dan ia bekerja berdasarkan cara yang tidak begitu kita kenal, aturan kerjanya di sebut logika, agaknya kita dapat mennerima kebenarnya.
Bagaimana manusia memperoleh pengetahuan filsafat? dengan berpikir secara mendalam, sesuatu yang abstrak. Mungkin juga objek pemikiranya sesuatu yang konkret, tetapiyang hendak di ketahui adalah bagian di” belakang” objek konkret itu. Dus abstrak juga.
Secara mendalam artinya ia hendak mengetahui bagian yang abstrak sesuatu itu, ia ingin mengetahui  sedalam-dalamnya. Kapan pengtahuan itu di katakana mendalam?. Dikatakan mendalam tatakala ia sudah berhenti sampai tanda Tanya. Dia tidak dapat maju di situlah orang berhenti, dan ia telah mengetahui sesuatu itu secara mendalam. Jadi jelas mendalam bagi seseorang belum tentu mendalam bagi orang lain.
Seperti telah di buat di muka, sain mengetahui sebatas fakta empiris. Ini tidak mendalam tetapi itu pun mempunyai rentangan, sejauh mana hal abstrak di belakang fakta  empiris itu dapat di ketahui oleh seseorang, akan banyak terganntung pada kemampuan berpikir seseorang.
Jika kita ingin mengetahui sesuatu yang tidak empiris, apa yang  akan kita gunakan ?, ya, akal itu, apapun kelemahan akal, bahkan sekali pun akal amat di ragukan hakikat keberadannya, toh akal yang menghasilkan apa yang di sebut filsafat. Kelihatanya, ada satu hal yang penting di sini : janganlah hidup ini di gantungkan pada filsafat, janganlah hidup ini di tentukan seluruhnya oleh filsafat, filsafat itu adalah produk akal dan akal itu belum di ketahui secara jelas identitasnya. [4]
3.      Ukuran kebenaran filsafat
Pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang logis tidak empiris. Pernyataan ini menjelaskan bahwa ukuran kebenaran filsafat ialah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis benar, bila tidak logis, salah.
Kebenaran teori filsafat di tentukan oleh logis tidaknya teori itu. Ukuran logis tidaknya tersebut akan terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan ( teori) itu. Fungsi argumen dalam filsafat sangatlah penting,sama dengan fungsi data pada pengetahuan sain, argument itu terjadi kesatuan dengan konklasi,konklasi itulah yang di sebut ilmu filsafat. Bobot teori filsafat justru terletak pada kekuatan argumen, bukan pada kehebatan konkulasi. Karena argument itu menjadi kesatuan konkulasi,maka boleh juga di terima pendapat yang mengatakan bahwa filsafat itu argumen kebenaran konkulasi di tentukan 100% oleh argumennya.
C.  Objek Dan Tujuan Epistemologi
Dalam kehidupan masyarakat sehari-hari, tidak jarang pemahaman objek disamakan dengan tujuan, sehingga pengertiannya menjadi rancu bahkan kabur. Jika diamati secara cermat, sebenarnya objek tidak sama dengan tujuan. Objek sama dengan sasaran sedangkan tujuan hampir sama dengan harapan. Meskipun berbeda,  tetapi antara objek dan tujuan memiliki hubungan yang berkesinambungan, sebab objeklah yang mengantarkan tercapainya tujuan.
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
Rumusan tujuan epistemologi tersebut memiliki makna strategis dalam dinamika pengetuhuan. Rumusan tersebut menumbuhkan kesadaran seseorang bahwa jangan sampai kita puas dengan sekedar memperoleh pengetahuan, tanpa disertai dengan cara atau bekal untuk memperoleh pengetahuan, sebab keadaan memperoleh pengetahuan melambangkan sikap pasif, sedangkan cara memperoleh pengetahuan melambangkan sikap dinamis. [5]
D.  Landasan Epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
Jadi, ilmu pengetahuan merupakan pengetahuan yang didapatkan lewat metode ilmiah. Tidak semua pengetahuan disebut ilmiah, sebab ilmu merupakan pengetahuan yang cara mendapatkannya harus memenuhi syarat-syarat tertentu. Syarat-syarat yang harus dipenuhi agar suatu pengetahuan bisa disebut ilmu yang tercantum dalam metode ilmiah.
Metode ilmiah berperan dalam tataran transformasi dari wujud pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Bisa tidaknya pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan  sangat bergantung pada metode ilmiah. Dengan demikian metode ilmiah selalu disokong oleh dua pilar pengetahuan, yaitu rasio dan fakta secara integratif.
Rasio atau akal merupakan instrumen utama untuk memperoleh pengetahuan. Rasio ini telah lama digunakan manusia untuk memecahkan atau menemukan jawaban atas suatu masalah pengetahuan. Bahkan ini merupakan cara tertua yang digunakan manusia dalam wilayah keilmuan. Pendekatan sistematis yang mengandalkan rasio disebut pendekatan rasional denagn pegertian lain disebut dengan metode deduktif yaang dikenal denagn silogisme Aristoteles, karena dirintis oleh Aristoteles.
Pada silogisme ini pengetahuan baru diperoleh melalui kesimpulan deduktif (baik menggunakan logika deduktif, berpikir deduktif atau metode deduktif), maka harus ada pengetahuan dan dalil umum yang disebut premis mayor yang menjadi sandaran atau dasar berpijak dari kesimpulan-kesimpulan khusus. Bertolak dari premis mayor ini dimunculkan premis minor yang merupakan bagia dari premis mayor. Setelah itu baru bisa ditarik kesimpulan deduktif. Dismping itu, pendekatan rasiaonal ini selalu mendayagunakan pemikiran dalam menafsirkan suatu objek berdasarkan argumentasi-argumentasi yang logis. Jika kita berpedoman bahwa argumentasi yang benar adalah penjelasan yang memilki kerangka berpikir yang paling meyakinkan, maka pedoman ini pun tidak mampu memecahkan persoalan, sebab kriteria penilainya bersifata nisbi dan selalu subjektif. Lagi pula kesimpulan yang benar menurut alur pemikiran belum tentu benar menurut kenyataan. Seseorang yang menguasai teori-teori ekonomi belum tentu mampu menghasilkan keuntungan yang besar, ketika dia mempraktekan teori-teorinya. Padahal teori-teori itu dibangun menurut alur pemikiran yang benar
Karena kelemahan rasionalisme atau metode deduktif inilah, maka memunculkan aliran empirisme. Aliran ini dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626). Bacon yakin mampu membuat kesimpulan umum yang lebih benar, bila kita mau engumpulkan fakta melalui pengamatan langsung, maka dia mengenalkan metode induktif sebagi lawan dari metode deduktif. Sebagi implikasi dari metode induktif, tentunya Bacon menolak segala macam kesimpulan yang tidak didasarkan fakta lapangan dan hasil pengamatan.
E.  Pengaruh Epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Epistemologi juga membekali daya kritik yang tinggi terhadap konsep-konsep atau teori-teori yang ada. Penguasaan epistemologi, terutama cara-cara memperoleh pengetahuan sangat membantu seseorang dalam melakuakan koreksi kritis terhadap bangunan pemikiran yang diajukan orang lain maupun dirinya sendirinya. Sehingga perkembangan ilmu pengetahuan relatig mudah dicapai, bila para ilmuwan memperkuat penguasaannya.[6]
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi. [7]


BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1.      Arti epistemologi
Epistemologi (filsafat ilmu) adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Epistemologi merupakan salah satu objek kajian dalam filsafat, dalam pengembangannya menunjukkan bahwa epistemologi secara langsung berhubungan secara radikal (mendalam) dengan diri dan kehidupan manusia. Pokok kajian epistemologi akan sangat menonjol bila dikaitan dengan pembahasan mengenai hakekat epistemologi itu sendiri.
Secara linguistik kata “Epistemologi” berasal dari bahasa Yunani yaitu: kata “Episteme” dengan arti pengetahuan dan kata “Logos” berarti teori, uraian, atau alasan. Epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan yang dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge.[1] Istilah epistemologi secara etimologis diartikan sebagai teori pengetahuan yang benar dan dalam bahasa Indonesia disebut filsafat pengetahuan. Secara terminologi epistemologi adalah teori mengenai hakikat ilmu pengetahuan atau ilmu filsafat tentang pengetahuan.
2.      Epistemologi filsafat
Epistemelogi filsafat membicarakan tiga hal, yakni objek filsafat (yaitu yang di pikirkan), cara memperoleh pengetahuan filsafat dan ukuran kebenaran pengetahan filsafat).
3.      Objek dan tujuan epistemologi
Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi atau teori pengetahuan yang untuk pertama kali digagas oleh Plato ini memiliki objek tertentu. Objek epistemologi ini menurut Jujun S. Suriasuamantri berupa “ segenap proses yang terlibat dalam usaha kita untuk memperoleh pengetahuan.” Proses untuk memperoleh pengetahuan inilah yang mejadi sasaran teori pengetahuan dan sekaligus berfungsi mengantarkan tercapainya tujuan, sebab sasaran itu merupakan suatu tahap perantara yang harus dilalui dalam mewujudkan tujan. Tanpa suatu sasaran, mustahil tujuan bisa terealisir, sebaliknya tanpa suatu tujuan, maka sasaran menjadi tidak terarah sama sekali.
Selanjutnya, apakah yang menjadi tujuan epistemologi tersebut? Jacques Martain mengatakan, “ tujuan epistemologi bukanlah hal yang utama untuk menjawab pertanyaan, apakah saya dapat tahu, tetapi untuk menemukan syarat-syarat yang memungkinkan saya dapat tahu.”hal ini menunjukkan, bahwa tujuan epistemologi bukan untuk memperoleh pengetahuan kendatipun keadaan ini tak bisa dihindari akan tetapi yang menjadi pusat perhatian dari tujuan epistemologi adalah hal lebih penting dari itu, yaitu ingin memiliki potensi untuk memperoleh pengetahuan.
4.      Landasan epistemologi
Landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah, yaitu cara yag dilakukan ilmu dalam menyusun pengetahuan yang benar. Metode ilmiah merupakan prosedur dalam mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu.
5.      Pengaruh epistemologi
Sebagai teori pengetahuan ilmiah, epistemologi berfungsi dan bertugas menganalisis secara kritis prosedur yang ditempuh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus berkembang terus, sehingga tidak jarang temuan ilmu pengetahuan ditentang atau disempurnakan oleh temuan ilmu pengetahuan yang kemudian.
Secara global epistemologi berpengaruh terhadap peradaban manusia. Suatu peradaban sudah tentu dibentuk oleh teori pengetahuannya. Epistemologilah yang menentukan kemajuan sains dan teknologi. Epistemologi menjadi modal dasar dan alat strategis dalam merekayasa pegembangan alam menjadi sebuah produk sains yang bermanfaat bagi kehidupan manusia. Demikian halnya yang terjadi pada teknologi meskipun teknologi sebagai penerapan sains, tetapi jika dilacak lebih jauh ternyata teknologi sebagai akibat dari pemanfaatan dan pengembangan epistemologi.

B.  Saran
         Setelah Penulis dapat menyelesaikan makalah ini, kami harapkan saran dan kritik dari Ibu pembimbing dan rekan-rekan sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Dan semoga makalah ini bermanfaat bagi yang membacanya. Aamiin. 



[1] http://belongtosarah.blogspot.com/2013/04/makalah-filsafat-ilmu-epistemologi.html. Di akses Rabu 21 Mei 2014 (12:03 AM)
[2] Sudarsono.2001.Ilmu Filsafat. hal 138
[3] Ahmad Tafsir.2009.Filsafat Ilmu. hal 43
[4] Ibid. hal 48
[5] Qomar Mujammil, epistemologipendidikanislam: dari metoderasionalhinggametode kritik,( Jakarta: Erlangga 2005), h. 7
[6] http://blognyasharing.blogspot.co.id/2015/06/filsafat-ilmu-epistemologi_25.html
[7]  Qomar Mujammil, Epistemologi Pendidikan Islam:  dari Metode Rasional Hingga Metode Kritik, ( Jakarta: Erlangga 2005), h. 27